Jumat, 15 April 2016

Khilafah Bukan Solusi Untuk Indonesia

Judul Buku : Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia

Editor : KH. Abdurrahman Wahid

Penerbit : Gerakan Bhineka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Maarif Institute

Edisi : 2009

Tebal : 321 halaman



Seperti diketahui, ide dan aspirasi pendirian negara Islam di Indonesia telah melahirkan beragam respon dan tafsiran di masyarakat, baik di kalangan Muslim maupun non-Muslim. Ada yang berpandangan, isu negara islam sengaja dihembuskan untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok Islam, tapi sebagian yang lain mengakui dengan terus terang bahwa ide dan aspirasi pendirian negara Islam dewasa ini benar-benar ada dan akan direalisasikan.

Gerakan garis keras lahir karena hilangnya daya nalar dalam beragama dan kurangnya pengetahuan tentang tujuan kehidupan ini. Pengetahuan yang terbatas membuat hawa nafsu tidak mampu membedakaan antara "Jalan" dan "Tujuan", dalam memahami Islam pun kerap mempersetankan ayat-ayat lain yang tidak sejalan dengan ideologinya.

Terlihat sekali dengan maraknya khutbah yang terang-terangan berisi anti demokrasi dengan alasan kebarat-baratan atau pancasila tidak bisa diterima dalam islam karena buatan manusia. Lucu sekali rasanya tinggal di negara demokrasi tetapi masih ada yang menggunakan nikmatnya demokrasi untuk menolak demokrasi itu sendiri. Padahal dari dulu negara ini sudah beranekaragam jadi kenapa harus dipaksakan menjadi seragam?!

Penyusupan ideologi memang tidak dirasakan oleh banyak orang, gerakan ideologi sering tidak dirasakan dan disadari oleh mereka yang dimasuki. Maka secara sistematis berkembang menjadi besar dan merasuk. Dengan demikian, gerakan ideologis seperti itu akan semakin mekar dan berekspansi secara sistemik, yang dikemudian hari baru dirasakan sebagai masalah serius tetapi keadaan sudah tidak dapat dicegah dan dikendalikan karena telah meluas sebagai gerakan yang dianut oleh banyak orang.

Isu penegakan syari'ah Islam seperti yang terlihat dalam kasus keluarnya Perda-perda Syari'ah memang telah memunculkan spekulasi yang mengarah pada ide pendirian negara Islam. Di samping itu, faktor korupsi, tidak adanya jaminan kepastian hukum, proses peradilan yang tidak independen dan sering direcoki berbagi kepentingan, juga telah memberi alasan pada kelompok-kelompok garis keras untuk menawarkan alternatif hukum, walau permasalahan yang sebenarnya bukan pada aspek diktum hukum melainkan aparat hukum.

Apakah Perda-perda Syari'ah Islam yang banyak bermunculan di tanah air kita akhir-akhir ini akan menciptakan "Kebahagian" yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia jika sudah terbukti gagal di negara-negara lain?

Satu-satunya cara untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup yang sebenarnya di dunia dan akhirat, adalah dengan mengikuti syari'ah dalam pengertian yang paling dalam dan luas, yakni sebagai jalan menuju Allah swt. Realisasi semacam ini bisa terlihat pada jiwa-jiwa yang tenang, yang berserah diri, tunduk, dan patuh secara jasmaniah (fisikal), nafsaniyah (emosional) dan rohaniah (spiritual) hanya kepada-nya, dan menjaga diri agar tidak didominasi oleh hawa nafsu. Kebahagiaan dan kesempurnaan hidup tidak akan pernah bisa dicapai melalui pemaksaan maupun formalisasi agama, tetapi melalui kesadaran yang tumbuh di dalam hati. Ironisnya, hampir semua garis keras sepakat untuk menerapkan syari'ah dalam arti sempit (hukum islam) sambil menolak spiritualitas untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

Buku hasil penelitian selama lebih dari dua tahun ini mengungkap asal usul, ideologi dan agenda gerakan garis keras transnasional yang beroperasi di Indonesia, serta rekomendasi membangun gerakan untuk menghadapi dan mengatasinya secara damai dan bertanggung jawab.


Senin, 11 April 2016

Bukan Propaganda Vegetarian


Judul Buku : Eating Animals
Penulis : Jonathan Safran Foer
Penerjemah/Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Edisi : 2010
Tebal : 316 halaman




Manusia mendapat hak istimewa untuk bisa memilih makanan apa saja di bumi ini bukan berarti ia layak untuk memperlakukan setiap makhluk, terutama hewan sebagai sekadar santapan atau makanan tanpa menyadari bahwa mereka layak diperlakukan lebih dari korban sajian.

Buku ini bukan tentang propaganda menjadi vegetarian. Penulis lebih menuturkan buku yang ditulisnya dengan sejumlah riset dan penyelidikan secara langsung, untuk mengungkap praktik-praktik perternakan di Amerika Serikat yang sudah menyimpang jauh dari tradisi perternakan keluarga yang memperlakukan hewan secara lebih terhormat.

Dalam salah satu bab dituliskan:
Orang tidak lagi tahu asal makanan. Makanan bukan sintetis, bukan dibuat di lab, tapi harus ditumbuhkan. Yang saya benci adalah ketika konsumen bertindak seolah peternak mau melakukan hal ini, padahal konsumenlah yang memberitahu petani apa yang harus ditumbuhkan. Mereka mau makanan murah. Kami tumbuhkan. Kalau mereka mau telur dari ayam yang tidak dikandangkan, mereka harus bayar lebih mahal. Titik. Produksi telur oleh ayam-ayam yang dikurung dikandang petelur raksasa lebih murah. Lebih efisien dan artinya lebih berkelanjutan. Ya. Saya bilang perternakan pabrik bisa jadi lebih berkelanjutan., biarpun saya tahu kata itu sering dipakai untuk melawan industri. Dari Cina sampai India dan Brasil, permintaan produk hewan terus tumbuh cepat. Kamu kira perternakan keluarga bisa melayani dunia berisi sepuluh miliar orang?

Yang membuat saya tercengang dalam penyelidikan dan riset yang ditulis dalam buku ini adalah ketika penulis mengungkap genetika hewan dan menurut akal sehat saya pun memang benar adanya. Mereka membuat hewan agar lebih cepat gemuk dalam waktu sesingkat mungkin, membuat hewan lebih cepat bertelur sebelum waktunya tiba dengan tipuan seperti lampu untuk mengganti panasnya matahari dan tidak mengumbar atau mengajak hewan ke alam luar, mereka hanya dikandang sempit dengan jumlah yang banyak, itu semua agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya dan sebisa mungkin untung sebesar-besarnya.

Buku ini mengajak kita mencerahkan diri dari sekadar menuruti kebiasaan menjadi hidup yang berkesadaran, Mungkin inilah saatnya kita menyadari kehidupan di balik santapan kita.